Masyarakat dan Aktivis bincangkan Izin Hutan Aceh, Panglima wilayah Linge,Aceh Tengah .Renggali Janji Bawa Suara Rakyat ke Gubernur

Yusra Efendi
23 Jun 2025 04:51
DAERAH SOCIAL 0 116
2 menit membaca

Aceh Tengah,SCNews.co.id -20 Juni 2025 Persoalan perizinan hutan di Aceh kembali mencuat. Perwakilan masyarakat adat bersama sejumlah aktivis, Sinar Harapan menyampaikan langsung kekhawatiran mereka kepada Panglima wilayah Linge,Aceh Tengah, Renggali, dalam sebuah pertemuan di Kebayakan, Kabupaten Aceh Tengah.

 

Mereka menyoroti aktivitas perusahaan swasta yang dinilai memasuki kawasan hutan tanpa konsultasi dan persetujuan dari masyarakat setempat. Hal ini, menurut para aktivis, tidak hanya melanggar hak-hak warga adat, tetapi juga mengancam kelestarian lingkungan.

 

“Kami melihat ada pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat lokal serta ancaman serius terhadap ekosistem hutan Aceh,” ujar perwakilan Sinar Harapan. “Beberapa perusahaan mengurus perizinan tanpa keterlibatan warga. Ini bisa memicu konflik dan merusak lingkungan secara nyata.”

 

Dalam forum tersebut, masyarakat mendesak agar keputusan terkait hutan harus melibatkan kepala desa dan tokoh adat yang selama ini menjaga dan mengelola wilayah tersebut secara turun-temurun.

 

Panglima wilayah Linge,Aceh Tengah Renggali menyatakan komitmennya untuk mendukung suara rakyat. Ia menegaskan bahwa masalah ini bukan sekadar urusan administrasi, tetapi menyangkut masa depan masyarakat dan kehormatan daerah.

 

“Saya mendengarkan langsung suara rakyat. Masalah ini bukan hanya soal izin, tapi juga menyangkut kelangsungan hidup dan kehormatan kita sebagai penjaga tanah ini,” tegasnya.

 

Renggali berjanji akan membawa persoalan ini ke tingkat yang lebih tinggi, termasuk kepada Wali Nanggroe dan Gubernur Aceh. Ia berharap ke depan proses perizinan kehutanan lebih berpihak pada masyarakat serta dijalankan dengan prinsip transparansi dan keadilan ekologis.

 

“Masalah klaim tanah negara harus dikoordinasikan dengan pemerintah desa dan tokoh adat. Tidak bisa ada keputusan sepihak yang mengabaikan struktur sosial yang sudah lama ada,” tambahnya.

 

Sejak ditandatanganinya Perjanjian Helsinki pada 15 Agustus 2005, Aceh mendapatkan kewenangan otonomi khusus, termasuk dalam pengelolaan sumber daya alam. Meski perjanjian tidak secara eksplisit menyebut kehutanan, isi pasal terkait otonomi memperjelas hak Aceh untuk mengatur sektor kehutanan secara mandiri.

 

Aceh berhak mendapatkan 70% pendapatan dari sumber daya alam di wilayahnya dan memiliki wewenang untuk menerbitkan regulasi lokal, termasuk qanun kehutanan. Sejak saat itu, muncul berbagai inisiatif lokal untuk pelestarian hutan dan pelibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan.

 

Namun, tantangan tetap ada, seperti konflik tenurial, konversi lahan, dan lemahnya pengawasan perizinan. Pertemuan pada tang tanggal 21/06/2025 di Kebayakan , Aceh Tengah ini menjadi sinyal kuat bahwa masyarakat masih berjuang untuk memastikan pengelolaan hutan Aceh berjalan adil, lestari, dan menghormati hak adat.

 

Tim Redaksi

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *