12 Kepala Keluarga di Pantan Tengah Minta Keadilan: Dugaan Perampasan Tanah oleh H. Sahadat dan Mantan Reje Supriadi . 

Yusra Efendi
4 Jul 2025 11:10
HUKUM 0 575
3 menit membaca

Takengon, SCNews.co.id – 4 Juli 2025, Sebanyak 12 kepala keluarga di Kampung Pantan Tengah, Kecamatan Rusip Antara, Kabupaten Aceh Tengah, menuntut keadilan atas dugaan perampasan hak tanah mereka yang telah lama dikuasai secara sah. Sengketa ini memanas setelah keluarnya sertifikat Hak Milik atas nama H. Sahadat yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Aceh Tengah dengan Nomor Induk Bidang (NIB): 01.09.0000003676.0 pada tahun 2025.

 

Padahal, lahan tersebut telah dikuasai sejak tahun 1998 oleh para warga berdasarkan surat jual beli sah yang dikeluarkan melalui Pemerintahan Kampung Pantan Tengah. Salah satu titik krusial dalam kasus ini adalah sebidang tanah tempat parkir mobil Carry milik Zulkarnain Tebe, yang berada di atas tanah milik Hairul Saleh. Namun, surat pemberitahuan pengosongan yang dikeluarkan oleh pemerintahan kampung pada 27 Juni 2025 justru menjadi pemicu keresahan baru di tengah konflik yang belum selesai.

 

Syahri Budiman, menyatakan bahwa munculnya sertifikat ini di tengah proses mediasi yang belum tuntas merupakan bentuk pengabaian terhadap keadilan.

 

” Warga sudah pernah melakukan upaya musyawarah pada 26 Juli 2023, bahkan dihadiri oleh UPTD Kecamatan Rusip Antara, namun belum ada kesepakatan. Tiba-tiba muncul sertifikat atas nama pihak lain tanpa sepengetahuan kami. Ini jelas mencederai proses hukum dan rasa keadilan masyarakat,” tegas Syahri.

 

Lebih lanjut, Syahri menduga kuat adanya persekongkolan antara H. Sahadat dengan mantan Reje Kampung Pantan Tengah, Supriadi, yang menjabat pada periode 2019–2024. “Kami menduga ada keterlibatan aktif mantan Reje dalam memuluskan keluarnya sertifikat, padahal secara administratif, tanah itu masih dalam sengketa dan sudah dikuasai oleh warga sejak lebih dari dua dekade,” tambahnya.

 

Syahri juga menyoroti tindakan semena-mena pihak keluarga H. Sahadat yang menebangi sejumlah tanaman milik warga di atas tanah sengketa. “Ini perlakuan tidak berperikemanusiaan. Tanaman buah-buahan milik warga ditebang begitu saja, tanpa proses hukum, tanpa penghormatan terhadap hak yang sah,” ungkapnya dengan nada kecewa.

 

Atas dasar itu, warga melalui kuasa hukumnya meminta kepada aparat penegak hukum (APH), lembaga peradilan, hingga pemerintahan daerah dan pusat untuk mengusut tuntas dugaan pelanggaran hukum ini. Mereka juga mendesak BPN Aceh Tengah agar transparan dalam menjelaskan dasar hukum terbitnya sertifikat tersebut.

 

“Kami bukan mencari konflik. Kami hanya ingin keadilan ditegakkan. Kami punya dokumen sah dan bukti kepemilikan sejak 1998. Maka kami minta sertifikat itu dibatalkan dan dilakukan audit menyeluruh atas proses penerbitannya,” pungkas Syahri.

 

Warga terdampak berharap dukungan dari seluruh elemen masyarakat, organisasi masyarakat sipil, serta media agar persoalan ini tidak ditutup-tutupi dan segera menemukan kejelasan hukum. Konflik agraria ini mencerminkan krisis kepercayaan terhadap proses administrasi pertanahan di daerah dan menjadi ujian serius bagi komitmen penegakan hukum di Aceh Tengah.

 

 

(Redaksi)

 

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *