“Surat Ancaman PT GMR: Dari Hulu yang Terancam Hingga Demokrasi yang Tergerus”

Yusra Efendi
13 Agu 2025 14:57
HUKUM 0 1161
3 menit membaca

Gayo Lues,SCNews.co.id —Rabu 13 Agustus 2025, Upaya menolak tambang emas di Kabupaten Gayo Lues kini memasuki babak mengkhawatirkan. Baihaqi, warga Gampong Pantan Cuaca, mengaku menjadi sasaran intimidasi setelah secara terbuka mengkritik rencana operasi PT Gayo Mineral Resources (GMR). Perusahaan menudingnya menyebarkan hoaks dan fitnah, lalu mengirimkan surat bernada ancaman pada 4 Agustus 2025.

 

Surat yang ditandatangani General Manager PT GMR, Alfi Syahrin, menuntut Baihaqi memberikan klarifikasi tertulis dalam waktu lima hari. Apabila tidak dipenuhi, pihak perusahaan mengancam akan menempuh jalur hukum.

 

“Surat ini jelas bentuk pembungkaman. Mereka ingin rakyat kecil seperti saya berhenti bersuara. Padahal yang kami lakukan hanya menyampaikan aspirasi menolak tambang yang mengancam ruang hidup kami,” ujar Baihaqi, Rabu (13/8/2025).

 

Baihaqi menegaskan, tuduhan itu tidak disertai bukti. Saat ia mendatangi manajemen PT GMR untuk meminta penjelasan, pihak perusahaan gagal menunjukkan unggahan mana yang disebut hoaks. “Mereka berputar-putar bicara, lalu mengatakan akan menyerahkan pada pengacara di Jakarta,” katanya.

 

Menurutnya, langkah ini adalah strategi licik untuk menakut-nakuti warga. Ia khawatir intimidasi ini akan membuat ruang kebebasan berpendapat di Gayo Lues semakin sempit.

 

Kekhawatiran warga Pantan Cuaca punya alasan kuat. Rencana tambang emas PT GMR berada di hulu kawasan hutan lindung pada ketinggian 1.600–1.700 mdpl , sumber utama air bersih yang mengalir ke pemukiman di ketinggian 1.100–1.200 mdpl.

 

Wilayah ini adalah jantung ekonomi pertanian Gayo Lues. Kopi Arabika Gayo, tembakau, alpukat, dan cabai tumbuh subur di lahan yang kini terancam. “Kopi kami pernah jadi juara dunia karena alamnya terjaga. Kalau tambang ini jalan, 20–30 tahun ke depan semua itu bisa hilang,” kata Baihaqi.

 

Lebih jauh, ia menilai PT GMR sengaja mengirim surat ancaman tembusan ke camat dan kepala desa untuk memberi tekanan sosial, mempermalukan, dan mengisolasi dirinya di tengah komunitas. “Ini pola lama. Mereka target warga biasa, bukan LSM besar, supaya efek takut menyebar,” ujarnya.

 

Baihaqi juga menyinggung ironi hukum di daerahnya, petani sering dipidana hanya karena menggarap lahan di kawasan hutan, sementara perusahaan besar justru leluasa mengeksekusi proyek berisiko tinggi.

 

“Di mana keadilan untuk rakyat? Jangan mentang-mentang punya modal besar, lalu bebas menghancurkan masa depan kami,” tegasnya.

 

Sebelumnya, pada Juni lalu, masyarakat telah mengirim surat penolakan resmi ke Presiden Prabowo Subianto, dengan tembusan ke berbagai lembaga negara. Namun, hingga kini belum ada respons. Merasa jalur resmi buntu, warga beralih menyuarakan keresahan melalui media sosial.

 

Alih-alih membuka ruang dialog, PT GMR memilih jalur intimidasi hukum. Bagi warga, langkah ini mencerminkan krisis legitimasi dan minimnya transparansi perusahaan. “Kasus ini hanya mempertegas citra industri ekstraktif: sensitif terhadap kritik, tetapi miskin akuntabilitas,” tutup Baihaqi.

 

 

Tim Redaksi

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

x
x