Takengon, SCNews.co.id – Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Pesangan kembali menjadi sorotan publik. Dalam dua momentum berbeda, pihak PLTA terpaksa duduk satu meja di aula gedung DPRK Berhadapan dengan masyarakat dan mahasiswa karena persoalan yang mencuat di lapangan.
Pertama, melalui audiensi terbuka yang difasilitasi oleh Komisi C DPRK Aceh Tengah pada Rabu (20/8/2025), PLTA Pesangan bersama Aliansi Mahasiswa dan Masyarakat Peduli Lingkungan (AMMPL) menyepakati 12 poin krusial. Poin-poin tersebut mencakup aspek keselamatan kerja, normalisasi sungai, pembentukan tim pengawasan gabungan, transparansi dokumen teknis, hingga kompensasi terhadap korban jiwa akibat kelalaian.
Kesepakatan itu lahir menyusul tragedi memilukan: meninggalnya seorang anak berusia 10 tahun akibat aktivitas proyek yang dinilai abai terhadap standar K3.
Keesokan harinya, Kamis (21/8/2025), masyarakat Arul Kumer Barat kembali menyuarakan keluhannya. Mereka menuntut PLTA memperbaiki akses jalan dan membangun jembatan menuju kebun, memberikan perhatian melalui CSR untuk bibit dan pupuk, hingga pembuatan bronjong di daerah aliran sungai yang terancam longsor. Permintaan ini akhirnya dituangkan dalam 6 poin kesepakatan baru yang disaksikan langsung oleh camat dan tokoh setempat.
Dua hari berturut-turut lahir kesepakatan. Namun, di balik itu muncul pertanyaan besar, Apakah PLTA benar-benar profesional?
Aktivis Aceh Tengah, Ruhdi Sahara, menilai sederet kesepakatan itu menunjukkan bahwa PLTA Pesangan tidak bekerja seprofesional yang dibayangkan masyarakat.
“Kalau saja sejak awal PLTA serius dan transparan, tragedi serta konflik ini tidak perlu terjadi. Apa yang sudah disepakati harus dilaksanakan, jangan sampai berujung pada kecurigaan,” ujarnya.
Senada dengan itu, perwakilan mahasiswa dan masyarakat menegaskan, permintaan maaf atau kompensasi tidak cukup tanpa perubahan sistemik. “Implementasi di lapangan adalah ujian sebenarnya. Jika tidak ditepati, aksi lanjutan pasti terjadi,” tegas Ketua HMI Cabang Takengon-Bener Meriah, Afdhalal Gifari.
Komisi C DPRK Aceh Tengah menegaskan bahwa seluruh kesepakatan bukan sekadar formalitas, melainkan kontrak moral antara PLTA, masyarakat, dan pemerintah. “Yang kita bicarakan bukan hanya proyek, tetapi nyawa manusia dan masa depan lingkungan Aceh Tengah,” ujar Khairul Ahadian, anggota DPRK.
Kini, publik menanti apakah PLTA Pesangan akan membuktikan komitmennya atau justru mengulang pola lama yang sarat kelalaian. Sebab, dua kesepakatan dalam dua hari jelas menjadi alarm keras bahwa proyek raksasa ini sedang berdiri di atas kepercayaan yang rapuh.
Redaksi
Tidak ada komentar