Takengon, SCNews.co.id — 18 Juli 2025, Langkah hukum yang tidak lazim namun sarat makna diambil oleh Aliansi Advokat Perempuan Aceh Tengah dalam perkara dugaan kekerasan terhadap seorang perempuan berinisial RHS yang terjadi di Hotel Bayu Hill, 17 April 2025 lalu. Melalui surat resmi tertanggal 18 Juli 2025, para advokat dari aliansi tersebut mengajukan permohonan sebagai amicus curiae atau sahabat pengadilan kepada Majelis Hakim Pengadilan Negeri Aceh Tengah.
Permohonan ini diajukan dalam perkara pidana ringan Jum’at 18/7/2025, di Kantor Pengadilan Negeri Takengon.
Perkara Pidana Ringan yang di atur sebagaimana dalam Pasal 352 ayat (1) KUHP. Namun, menurut para kuasa hukum korban,yang terdiri dari Kamisah, S.H., Ni’mah Kurniasari, S.H., Hamidah, S.H., M.H., dan Amna Zalifa, S.H., M.H.,kasus ini tidak bisa disederhanakan sebagai kekerasan ringan biasa. Mereka menilai kasus ini sarat dengan muatan kekerasan fisik, psikis, ekonomi, hingga digital, yang dilakukan secara berulang dan sistematis terhadap korban.
“Tindakan pelaku bukanlah spontanitas yang biasa, tapi sebuah pola kekerasan kompleks yang berdampak jangka panjang terhadap korban dan anak-anaknya,” ujar Kamisah, S.H., dalam surat permohonannya.
Peristiwa bermula ketika pelaku diduga menyiram air ke wajah dan mata korban secara tiba-tiba, menyerang saat korban dalam kondisi gelagapan, menarik korban hingga terjatuh, lalu menduduki tubuhnya dan membenturkan kepala korban ke lantai. Tindakan ini, menurut kuasa hukum, bukan hanya melukai secara fisik, tetapi juga menyisakan trauma berat.
Lebih dari itu, pelaku disebut juga melakukan pemerasan, dengan memaksa korban menyerahkan uang sebesar Rp50 juta. Korban yang merasa tertekan akhirnya memberikan Rp20 juta, namun kekerasan tetap terjadi. Bahkan pascakejadian, pelaku turut menyebarkan narasi negatif di media sosial dengan melabeli korban sebagai “pelakor”, yang menyebabkan kehancuran nama baik, tekanan psikologis, dan isolasi sosial.
Aliansi Advokat Perempuan Aceh Tengah menilai bahwa penerapan pasal tindak pidana ringan terhadap pelaku dapat menjadi preseden buruk. Dalam permohonan mereka, ditegaskan bahwa pendekatan hukum yang terlalu sempit akan mendegradasi realitas kekerasan yang dialami perempuan dan membuka celah pembiaran terhadap kekerasan berbasis gender.
“Jika kekerasan seperti ini hanya dilihat sebagai Tipiring, maka pelaku akan merasa sah dan ringan. Publik juga akan kehilangan kepercayaan terhadap sistem hukum,” lanjut Kamisah.
Permohonan ini tidak hanya didasari oleh pembelaan terhadap klien, tetapi juga sebagai bentuk partisipasi publik yang sah dalam proses peradilan. Dalam dokumen itu, turut dilampirkan pandangan dari Samsidar, mantan Komisioner Komnas Perempuan dan Ketua Dewan Pengawas PERMAMPU Sumatera. Ia menegaskan bahwa tindakan pelaku merupakan rangkaian kekerasan yang harus dipahami secara struktural dan kontekstual.
“Kami hadir bukan hanya untuk membela satu individu, tetapi untuk menyuarakan kepentingan perempuan, keadilan restoratif, dan tanggung jawab moral penegakan hukum,” kata Ni’mah Kurniasari, S.H., CPM, salah satu advokat yang tergabung dalam aliansi.
Surat permohonan sebagai amicus curiae ini menjadi sinyal penting bahwa publik, khususnya kelompok advokat perempuan, menaruh perhatian besar terhadap bagaimana sistem hukum memperlakukan korban kekerasan. Masyarakat kini menunggu apakah Majelis Hakim akan merespons permintaan ini sebagai jalan untuk memperluas pandangan hukum dan mempertegas keberpihakan pada korban kekerasan berbasis gender.
Konsep amicus curiae atau sahabat pengadilan adalah bentuk partisipasi non-pihak dalam perkara hukum untuk memberikan perspektif yang bermanfaat bagi keadilan. Meski belum lazim dalam perkara tipiring, langkah Aliansi Advokat Perempuan Aceh Tengah ini merupakan preseden penting bagi keadilan berbasis gender di daerah Aceh Tengah.
(Tim Redaksi)
Tidak ada komentar