BIAS Soroti Pejabat Strategis Aceh: Dinilai Hambat Kinerja Pemerintah, Muncul Seruan Reformasi Tata Kelola

Yusra Efendi
25 Jul 2025 14:12
3 menit membaca

Banda Aceh, SCNews.co.id — 25 Juli 2025, Badan Intelijen Aceh Sumatera (BIAS) melontarkan kritik tajam terhadap sejumlah tokoh birokrasi yang dinilai sebagai penghambat percepatan kinerja Pemerintah Aceh. Dalam laporan analisis yang dirilis secara internal, BIAS menyebut beberapa nama pejabat aktif yang dianggap justru memperlambat implementasi kebijakan, terutama dalam kerangka pelaksanaan Pemerintahan Aceh pasca-MoU Helsinki.

 

Beberapa nama yang disorot dalam laporan tersebut antara lain:

 

M. Nasir Syamaun (Plt. Sekda Aceh)

Husnan Harun (Plt. Kepala Bappeda Aceh)

Nur Zahri, Dahlan Jamaluddin, dan Pahlevi Kirani (anggota tim penyusun RPJM)

 

BIAS meminta agar  Gubernur Aceh, Muzakir Manaf, tidak mengangkat pejabat definitif dari kalangan tersebut, serta merekomendasikan Ketua Muallem Center, Ermiadi Abdurrahman, untuk mengevaluasi dan mempertimbangkan pemberhentian mereka dari struktur Tim RPJM Aceh.

 

Laporan tersebut juga menyoroti persoalan serius dalam praktik birokrasi, termasuk dugaan penyimpangan format administrasi seperti perubahan fungsi dokumen Surat Keputusan (SK) menjadi surat keterangan. Hal ini dinilai mencederai prinsip tata kelola pemerintahan yang akuntabel dan transparan.

 

Sebagai penguatan atas laporan BIAS, turut beredar sebuah surat terbuka yang ditandatangani oleh Mahdi A. Samad, selaku Sekretaris Jenderal Korp Alumni Komite Mahasiswa dan Pemuda Aceh Nusantara. Surat yang ditujukan langsung kepada  Gubernur Aceh, Muzakir Manaf, memuat sejumlah usulan strategis dalam rangka mempertegas karakter pemerintahan Aceh yang berdiri di atas prinsip “self-government” dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

 

Dalam surat tersebut, Mahdi menyampaikan dua poin penting:

 

1. Reformasi dalam Pengangkatan Pejabat Tinggi

Disarankan agar seluruh pejabat tinggi di lingkungan Pemerintah Aceh, khususnya Sekretaris Daerah (Sekda) dan pimpinan dinas/badan, diangkat tanpa harus mengikuti ketentuan Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagaimana berlaku secara umum. Menurutnya, hal ini bertujuan sebagai bentuk simbolis penerapan sistem pemerintahan yang lebih mandiri.

 

2. Pelantikan Gubernur oleh Kepala Negara

Usulan kedua adalah agar Presiden Republik Indonesia secara khusus melantik Gubernur Aceh, sebagai simbol pengakuan terhadap kekhususan Pemerintah Aceh yang tidak sepenuhnya berada di bawah pemerintahan pusat.

 

Menurut Mahdi, kebijakan tersebut akan menjadi kunci penting dalam menjalankan butir-butir kesepakatan damai MoU Helsinki yang selama ini dinilai mulai mengalami degradasi, baik karena faktor eksternal dari Pemerintah Pusat, maupun karena kelemahan internal birokrasi Aceh sendiri.

 

Kekhawatiran BIAS dan tokoh-tokoh sipil Aceh juga mengarah pada wacana revisi Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA), yang dinilai justru memperlemah posisi Aceh dalam sistem ketatanegaraan nasional. Tindakan tersebut dikritisi sebagai tidak sejalan dengan semangat MoU Helsinki yang menjadi dasar lahirnya UUPA itu sendiri.

 

Dua tokoh yang disebut terlibat aktif dalam dorongan revisi UUPA ini adalah:

 

Zulfadli (Ketua DPRA)

M. Nasir Syamaun (Plt. Sekda Aceh)

 

Laporan BIAS mempertanyakan kepentingan di balik agenda tersebut, dan menyindir keras bahwa tindakan ini “lebih mirip misi titipan”, dibandingkan sebagai aspirasi rakyat Aceh.

 

Serangkaian kritik dan usulan ini menggambarkan dinamika politik dan birokrasi yang sedang berlangsung di Aceh. Ketegangan antara harapan publik terhadap pelaksanaan MoU Helsinki dan realitas birokrasi hari ini, menciptakan ruang diskusi yang semakin terbuka. Apakah Pemerintah Aceh siap melakukan reformasi serius dan mengambil langkah simbolik demi menjaga integritas dan kewenangan khususnya? Publik kini menanti keberanian pemimpin.

 

 

Tim Redaksi

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

x
x