Di Tengah Aroma Kecap dan Telur, Nyawa Rakyat Digadaikan di Atas Jembatan Goyang

Yusra Efendi
5 Jun 2025 04:47
3 menit membaca

Takengon,SCNews.co.id – 5 Mei 2025, Tatkala sebagian elit politik lokal sibuk mengurus kenyamanan perut dan dapur rumah dinas, suara-suara jeritan rakyat dari pelosok Aceh Tengah justru nyaris tak terdengar. Aliansi Masyarakat Gayo (AMG) melayangkan kritik keras dan bernada murka terhadap DPRK Aceh Tengah yang dinilai kehilangan arah moral dan nurani, pasca mencuatnya laporan penggunaan anggaran sebesar Rp500 juta untuk belanja kebutuhan konsumtif seperti kecap, telur, dan cabai.

 

Sementara itu, hanya berjarak puluhan kilometer dari pusat kekuasaan, masyarakat Kemukiman Pameu, Kecamatan Rusip Antara, mempertaruhkan hidup mereka setiap hari meniti jembatan gantung rapuh yang nyaris putus—sebuah potret tragis ketimpangan dan kegagalan distribusi keadilan pembangunan.

 

Ketua AMG, Gilang Ken Tawar, dalam pernyataan tertulis yang diterima redaksi, menyebut belanja dapur setengah miliar itu sebagai bentuk paling vulgar dari pengkhianatan terhadap mandat rakyat.

 

> “Saat rakyat berpegangan pada seutas kabel karatan demi melintasi sungai, para wakilnya justru berkutat dalam kenyamanan rumah dinas. Ini bukan soal logistik konsumsi, ini soal kehilangan empati dan amnesia terhadap sumpah jabatan,” tegas Gilang, Selasa (4/6/2025).

 

 

Gilang menambahkan, kondisi kritis jembatan di Desa Tanjung dan Merande Paya bukan informasi baru. Kerusakan jembatan tersebut bahkan telah viral sejak Mei 2025, namun hingga kini belum ada intervensi serius dari pemerintah maupun lembaga legislatif. Idul Adha kian dekat, namun harapan masyarakat akan akses yang layak justru semakin jauh.

 

> “Jembatan ini bukan infrastruktur biasa—ia adalah denyut nadi ekonomi, pendidikan, dan pelayanan dasar. Tapi nyawa rakyat seolah ditukar dengan kenyamanan politikus yang tenggelam dalam aroma kecap dan minyak goreng,” sindirnya tajam.

 

 

AMG menilai DPRK Aceh Tengah hari ini terlalu terseret dalam pusaran anggaran pokok-pokok pikiran (pokir) yang lebih bersifat seremonial, kosmetik, dan tidak menjawab kebutuhan substansial masyarakat. Ketiadaan arah prioritas pembangunan hanya melanggengkan disparitas antara pusat dan wilayah terluar.

 

Tak hanya legislatif, AMG juga menyampaikan evaluasi kritis terhadap 100 hari kinerja pemerintahan Bupati Haili Yoga dan Wakil Bupati Muchsin Hasan. Alih-alih menghadirkan terobosan, publik justru disuguhkan parade baliho dan slogan, tanpa kehadiran nyata di titik-titik rawan infrastruktur.

 

> “Rakyat tidak butuh pemimpin yang hanya hidup di spanduk dan podium. Mereka butuh pemimpin yang berdiri di atas jembatan yang nyaris runtuh itu—melihat langsung, merasakan langsung, dan bertindak segera,” ujar Gilang.

 

 

 

Sebagai langkah penyelamatan keadaan, AMG menuntut:

 

1. Penghentian pengeluaran konsumtif yang tidak berkaitan langsung dengan kebutuhan rakyat;

2. Percepatan penanganan darurat jembatan gantung di Kecamatan Rusip Antara untuk menghindari potensi korban jiwa;

 

3. Audit publik terhadap anggaran DPRK yang dinilai sarat pemborosan dan minim keberpihakan;

 

4. Transparansi dan partisipasi publik dalam proses perencanaan anggaran, agar kontrol sosial dapat berjalan efektif.

 

> “Jika tuntutan ini tidak direspon dalam waktu dekat, AMG siap memobilisasi masyarakat, turun ke jalan, dan menuntut pertanggungjawaban secara langsung. Kami tidak akan diam ketika rakyat digadaikan atas nama kenyamanan politik,” pungkas Gilang.

 

 

 

(Red)

 

 

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *