Fakta Hukum Terabaikan,Kuasa Hukum Korban Hamidah SH.MH.CPL dan AAPA Tempuh Jalur Hukum Lainnya. 

Yusra Efendi 18 Jul 2025 12

Takengon, SCNews.co.id —18 Juli 2025, Putusan Pengadilan Negeri Takengon yang hanya menjatuhkan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp1 juta subsider 10 hari kurungan terhadap terdakwa HA dalam perkara kekerasan fisik terhadap seorang perempuan berinisial RH, menuai kecaman keras dari Aliansi Advokat Perempuan Aceh Tengah.

Dalam pernyataan resmi yang disampaikan oleh kuasa hukum korban, Hamidah, S.H., M.H., putusan tersebut dinilai sebagai bentuk penyederhanaan terhadap kompleksitas kekerasan berbasis gender, sekaligus mencerminkan kegagalan lembaga peradilan dalam memenuhi prinsip keadilan substantif.

 

“Majelis hakim telah mengabaikan fakta-fakta persidangan yang menunjukkan adanya unsur kekerasan sistematis dan dendam terstruktur yang telah berlangsung sejak tahun 2023. Bahkan, dalam penyelesaian sebelumnya korban telah dipaksa menyerahkan uang Rp20 juta. Namun hari ini, pengadilan hanya menghukumnya dengan denda Rp1 juta. Ini bukan hanya mengkhianati keadilan bagi korban, tapi juga membahayakan integritas sistem peradilan itu sendiri,” ujar Hamidah.

 

Dalam sidang perkara tindak pidana ringan (Tipiring) tersebut, terdakwa secara terang-terangan mengakui bahwa motif kekerasan yang dilakukannya terhadap korban RH pada 17 April 2025 merupakan akumulasi dendam yang telah dipupuk sejak tahun 2023. Ironisnya, kasus sebelumnya disebut telah diselesaikan secara kekeluargaan, bahkan korban telah melakukan pengorbanan materiil dengan memberikan Rp20 juta, yang juga dikonfirmasi langsung oleh kedua belah pihak di hadapan majelis hakim.

 

Namun, menurut Aliansi Advokat Perempuan, pengadilan justru gagal membaca konteks sosial, psikologis, dan ekonomi dari kekerasan yang dialami korban. Putusan yang dijatuhkan dianggap sangat formalistik dan mengabaikan prinsip keadilan restoratif dan perlindungan terhadap korban yang seharusnya menjadi arah reformasi sistem peradilan pidana.

 

“Kekerasan ini bukan peristiwa tunggal, melainkan bagian dari pola kekerasan berulang dan sistemik. Maka penanganannya pun tidak bisa disederhanakan sebagai Tipiring belaka,” tegas Hamidah.

 

Lebih lanjut, Hamidah mengungkapkan bahwa proses penyelidikan oleh aparat penegak hukum dinilai tidak maksimal, bahkan banyak fakta-fakta penting yang luput dari pemberkasan. Ia menilai bahwa kepolisian tidak cukup menggali elemen-elemen yang menunjukkan adanya intimidasi, pemerasan, dan kekerasan digital yang dialami korban.

 

“Dampak kekerasan ini tidak hanya fisik, tetapi juga merusak stabilitas ekonomi korban, mencemarkan nama baiknya di ruang publik, serta menyebabkan trauma psikologis mendalam. Namun seluruh dimensi ini nyaris tidak dipertimbangkan dalam amar putusan,” tambahnya.

 

Aliansi memperingatkan bahwa pembiaran terhadap putusan yang tidak mencerminkan keadilan gender akan memperkuat budaya impunitas terhadap pelaku kekerasan, sekaligus menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga penegakan hukum di Aceh Tengah.

 

Meskipun merasa dikecewakan oleh hasil putusan, tim advokasi menegaskan bahwa perjuangan hukum tidak akan berhenti di ruang sidang pertama. Mereka telah menyatakan kesiapannya untuk menempuh berbagai langkah hukum lanjutan, termasuk pengaduan ke Komnas Perempuan, gugatan perdata, serta mekanisme etik terhadap oknum aparat penegak hukum yang diduga lalai dalam menangani perkara ini.

 

“Kami akan memaksimalkan seluruh kanal hukum yang tersedia. Ini bukan sekadar pembelaan terhadap satu korban, tetapi bagian dari komitmen kami untuk menjaga martabat dan hak asasi seluruh perempuan di Aceh Tengah,” pungkas Hamidah.

 

Kasus ini menjadi penanda bahwa sistem peradilan di daerah masih menghadapi tantangan besar dalam menangani perkara kekerasan terhadap perempuan secara utuh dan adil. Keputusan yang dinilai meremehkan kekerasan berbasis gender dapat menjadi preseden buruk yang membahayakan upaya kolektif membangun tatanan hukum yang berpihak pada keadilan substantif dan perlindungan korban.

 

Masyarakat sipil dan organisasi pembela hak perempuan kini menaruh harapan pada keberanian korban dan keteguhan para advokat untuk melawan praktik hukum yang tidak berperspektif korban dan gender.

 

 

(Tim Redaksi)

 

 

Comments are not available at the moment.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked*

*

*

Related post
Radar Kajari Aceh Tengah Di Duga Sudah Menjangkau Kasus Dugaan Korupsi Reje Karang Bayur. 

Yusra Efendi

20 Jul 2025

Takengon, SCNews.co.id –20 Juli 2025, Desas-desus yang semula dianggap sekadar kabar burung kini mulai berwujud nyata. Sumber internal yang dapat dipercaya menguatkan dugaan bahwa Kejaksaan Negeri Aceh Tengah telah mengambil alih penanganan kasus dugaan korupsi Reje Karang Bayur, Kecamatan Bies,sebuah kasus yang selama ini terombang-ambing di meja Inspektorat dan sampai membuat spekulasi Publik negatif terhadap …

Aliansi Advokat Perempuan Aceh Tengah Ajukan Amicus Curiae: Minta PN Takengon Tegakkan Keadilan Pada Kasus Kekerasan Berencana. .

Yusra Efendi

18 Jul 2025

Takengon, SCNews.co.id — 18 Juli 2025, Langkah hukum yang tidak lazim namun sarat makna diambil oleh Aliansi Advokat Perempuan Aceh Tengah dalam perkara dugaan kekerasan terhadap seorang perempuan berinisial RHS yang terjadi di Hotel Bayu Hill, 17 April 2025 lalu. Melalui surat resmi tertanggal 18 Juli 2025, para advokat dari aliansi tersebut mengajukan permohonan sebagai …

Presiden Harus Segera Turun Tangan Terkait Waduk Krueng Keureuto.

Yusra Efendi

16 Jul 2025

Aceh Utara,SCNews.co.id – 16 Juli 2025, Persoalan Waduk Krueng Keureuto di Kabupaten Aceh Utara kian hari kian pelik. Proyek besar yang digadang-gadang sebagai solusi pengairan dan ketahanan pangan ini justru memunculkan persoalan mendasar yang sampai saat ini belum juga kunjung diselesaikan pemerintah.   Ketua Assosiasi Pewarta Pers Indonesia (APPI) Kabupaten Aceh Utara, Muhammad alias Rimung …

Hamidah SH.MH.PCL: Kekerasan Berencana Bukan Tipiring, Bukti dan Visum adalah Bukti. 

Yusra Efendi

14 Jul 2025

Takengon, SCNews.co.id – 14 Juli 2025, Penasehat hukum korban kasus kekerasan dalam komunitas Zumba, Hamidah, S.H., M.H., PCL, menyampaikan kekecewaannya terhadap proses hukum yang dianggap tidak mencerminkan keadilan. Ia mengungkapkan bahwa kasus kekerasan berulang terhadap kliennya, RH, justru akan disidangkan sebagai tindak pidana ringan (Tipiring), meskipun telah dilaporkan sebagai kekerasan serius dan berencana. Hamidah mengaku …

Trauma dan Teror dalam Komunitas Zumba: Seorang Wanita Laporkan Tindakan Kekerasan Berulang Semenjak 3 Tahun lalu. 

Yusra Efendi

12 Jul 2025

Aceh Tengah, SCNews.co.id -12 Juli 2025, Komunitas Zumba yang semestinya menjadi ruang aman bagi para peserta justru berubah menjadi mimpi buruk bagi seorang korban wanita  berinisial RH (33), Pengusaha, mengalami kekerasan fisik dan perundungan yang diduga dilakukan oleh seseorang berinisial HA (33), membuat korban mengalami luka fisik serius dan trauma mendalam. Sabtu, 12 Juli 2025. …

Komnas HAM Warning BPN! Proyek Waduk Keureuto Diduga Rugikan Warga: “Tanah Dirampas, Hak Dihilangkan”

Yusra Efendi

11 Jul 2025

Banda Aceh,SCNews.co.id – 11 Juli 2025, Proyek Waduk Keureuto kembali memicu badai polemik. Di balik klaim pembangunan untuk kepentingan nasional, terselip kisah dugaan perampasan hak tanah milik rakyat kecil. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) akhirnya turun tangan, menyurati BPN Provinsi Aceh dan BPN Kabupaten Aceh Tengah, menuntut klarifikasi resmi atas pengukuran lahan yang …