Takengon,SCNews.co.id. -Tambang emas hari ini bukan sekadar urusan perut atau soal ekonomi. Ia adalah panggung sandiwara tempat para pemain rakus memamerkan lakon busuknya. Di atas panggung itu, hukum dijadikan dekorasi, moral dijadikan kostum, dan kepentingan rakyat hanya dijadikan dialog kosong yang tidak pernah tulus.
Semua orang tahu ceritanya. Alam yang digali, hutan yang digunduli, sungai yang dicemari—semuanya terjadi di depan mata. Namun publik dipaksa menutup mulut, seolah menjadi penonton setia yang tidak boleh menyela jalannya pertunjukan. Padahal, panggung ini bukan hiburan. Ia adalah tragedi. Sebuah pemerkosaan terhadap bumi yang berteriak dalam bisu, menahan sakit di setiap retakan tanah dan racun yang mengalir bersama air.
Para aktor sandiwara ini tidak bermain sendirian. Mereka bersekongkol, saling tepuk bahu, dan bermufakat jahat. Aturan negara dilanggar, hukum dipelintir, dan janji kesejahteraan hanya menjadi naskah murahan untuk menipu penonton. Semua itu dilakukan dengan wajah manis, seolah mereka adalah pahlawan pembangunan. Padahal sesungguhnya, mereka hanyalah algojo bagi tanah leluhur dan pengkhianat bagi generasi yang akan datang.
Di tengah panggung busuk itulah Gilang Ken Tawar, tokoh muda dari Gayo, berdiri lantang. Ia menolak menjadi penonton bisu, menolak ikut bertepuk tangan pada sandiwara kebusukan, ia mengingatkan publik bahwa bumi ini bukan milik segelintir rakus, melainkan warisan untuk generasi yang akan datang. Suaranya menembus kebisuan, menantang dominasi para aktor tambang yang berlindung di balik kuasa.
Sejarah dunia juga membuktikan, satu suara bisa menumbangkan panggung besar. Lihatlah kisah Kinkri Devi, seorang perempuan miskin dan buta huruf dari Himachal Pradesh, India, yang berani menentang tambang ilegal di desanya. Dengan tekad sederhana, ia menggugat para penguasa tambang hingga dunia menoleh. Jika seorang Kinkri Devi mampu mengguncang rezim tambang di India, maka keberanian kolektif masyarakat Gayo yang dipimpin anak muda seperti Gilang Ken Tawar pasti mampu menumbangkan panggung rakus di tanah sendiri.
Inilah wajah telanjang dari tambang emas: kemewahan semu untuk segelintir orang, dan kehancuran nyata bagi banyak pihak. Selama sandiwara ini terus dimainkan, selama itu pula rakyat hanya mewarisi derita dan alam hanya mewarisi luka.
Namun solusi ada di depan mata. Gilang Ken Tawar menegaskan: tirai panggung ini harus segera diturunkan. Hukum harus ditegakkan tanpa kompromi, rakyat harus berdaulat atas sumber daya, dan ekonomi hijau harus dibangun sebagai alternatif. Jika keberanian kolektif ini tumbuh, maka panggung sandiwara tambang emas akan runtuh, aktor busuk kehilangan perannya, dan bumi kembali memiliki kesempatan untuk bernapas.
Redaksi
Tidak ada komentar