Takengon, SCNews.co.id – 20 Juni 2025,Dugaan praktik pungutan liar (pungli) di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1 Aceh Tengah menjadi sorotan publik setelah sejumlah wali murid dan aktivis pemuda mempertanyakan keabsahan pungutan yang dikemas dalam istilah “infak” dan “iuran komite”.
Sahlah, aktivis pemuda sekaligus mantan Presiden Mahasiswa UGP, mengungkapkan bahwa pungutan sebesar Rp75.000 per bulan yang dibebankan kepada setiap siswa, serta iuran awal bagi siswa baru yang disebut sebagai “uang pembangunan”, tidak sejalan dengan ketentuan yang berlaku.
Menurutnya, kewajiban membayar infak dalam jumlah dan tenggang waktu tertentu bertentangan dengan prinsip sukarela, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 88 Tahun 2022 tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan Bantuan Operasional Satuan Pendidikan (BOSP) pada Madrasah. Dalam regulasi tersebut ditegaskan bahwa madrasah negeri tidak diperbolehkan melakukan pungutan kepada siswa atau wali murid dalam bentuk apapun, termasuk sumbangan yang bersifat memaksa.
“Infak untuk guru honorer seharusnya tidak dibebankan kepada siswa, sebab kebutuhan tersebut sudah termasuk dalam skema pendanaan BOS dan BOSP dari pemerintah pusat,” ujarnya. Ia juga menyebut bahwa jika diakumulasi dalam setahun, jumlah dana yang terkumpul dari pungutan tersebut dapat mencapai ratusan juta rupiah.
Keluhan juga datang dari beberapa wali murid yang mengaku merasa tertekan karena ditegur saat terlambat membayar. Bahkan, menurut keterangan mereka, siswa yang belum melunasi iuran berisiko tidak diikutsertakan dalam ujian.
Menanggapi hal ini, Kepala MAN 1 Aceh Tengah, Drs. Riswan Basri, saat dikonfirmasi di ruang kerjanya pada Jumat (20/6), membenarkan adanya pungutan tersebut. Ia menjelaskan bahwa sumbangan tersebut merupakan hasil musyawarah antara komite dan wali siswa, dan bersifat sukarela.
“Benar, ada yang menyumbang Rp75 ribu, bahkan ada yang memberi Rp80 ribu. Namun tidak ada unsur paksaan. Sekitar 15% dari total siswa dibebaskan dari kewajiban ini karena dianggap kurang mampu. Semua kegiatan ini telah melalui musyawarah dengan komite. Dana tersebut digunakan untuk mendukung proses belajar mengajar, termasuk gaji guru honorer dan kebutuhan operasional lainnya,” jelas Riswan.
Namun demikian, berdasarkan Pasal 23 PMA Nomor 16 Tahun 2020 tentang Komite Madrasah, komite dilarang melakukan pungutan, baik secara individu maupun kolektif, kepada peserta didik atau wali murid di madrasah negeri. Komite hanya boleh menerima sumbangan yang tidak mengikat dan tidak memaksa.
Atas dugaan pelanggaran ini, sejumlah pihak mendesak agar Kementerian Agama melakukan evaluasi dan penelusuran menyeluruh. Transparansi dan akuntabilitas diperlukan agar lembaga pendidikan negeri tetap menjadi tempat yang bersih dari praktik pungutan di luar ketentuan.
Tim Redaksi
Tidak ada komentar