Mantan eks Ketua HIMAGA Soroti Dugaan Pungutan Dana pada Mahasiswa Penerima KIP Kuliah di IAIN Takengon: Berpotensi Pungli dan Pelanggaran Hukum

Yusra Efendi
17 Jun 2025 03:22
DAERAH HUKUM 0 180
3 menit membaca

Aceh Tengah, 4 Mei 2025 – 17 Mei 2025, Pemuda Aceh Tengah sekaligus mantan eks ketua himaga menyoroti dugaan praktik pungutan dana terhadap mahasiswa penerima Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP-K) di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Takengon.

 

Dugaan pungutan tersebut dilakukan secara rutin setiap semester dengan nominal antara Rp100.000 hingga Rp150.000 per mahasiswa. Dana tersebut diklaim sebagai “infaq” atau “kas organisasi” oleh forum mahasiswa penerima KIP, yakni Formakip, namun dalam praktiknya dilakukan dengan cara yang tidak transparan dan terindikasi bersifat memaksa.

 

Ruhdi, menyatakan bahwa pemotongan atau pungutan dana semacam ini bertentangan dengan prinsip tata kelola pendidikan yang bersih dan akuntabel. Terlebih lagi, mahasiswa penerima beasiswa seharusnya bebas dari segala bentuk pungutan tambahan, sebagaimana diatur dalam pedoman teknis KIP-K yang dikeluarkan oleh Puslapdik Kementerian Pendidikan.

 

“Permintaan dana semacam ini, apalagi dibebankan kepada mahasiswa penerima manfaat, sangat tidak etis. Terlebih jika tidak ada dasar hukum yang jelas atau mekanisme sukarela yang benar. Ini bisa dikategorikan sebagai pungutan liar (pungli),” tegas Ruhdi.

 

Dugaan ini semakin menguat dengan informasi bahwa pemotongan dilakukan setelah mahasiswa mengumpulkan buku tabungan dan ATM kepada koordinator KIP. Dana KIP sebesar Rp6.600.000 per semester diproses melalui kerja sama kampus dengan pihak bank. Sebanyak Rp2.400.000 dipotong langsung untuk UKT dan disetor ke rekening IAIN Takengon, sementara Rp4.200.000 ditransfer ke rekening mahasiswa. Dari dana itulah, mahasiswa diwajibkan menyetor kembali ke Formakip sejumlah Rp100.000 per semester.

 

Ruhdi mengungkapkan bahwa praktik ini sudah berlangsung sejak 2023 dan telah mengumpulkan dana hingga ratusan juta rupiah per tahun. Alumni IAIN Takengon juga mengaku sebelumnya hanya dikenakan Rp50.000, sehingga peningkatan pungutan ini memunculkan kecurigaan adanya penyimpangan.

 

Menurut ruhdi, berdasarkan aturan resmi, tidak boleh ada pemotongan dana hidup KIP-K oleh pihak mana pun, dan buku tabungan serta ATM harus tetap dipegang oleh mahasiswa. Pemotongan oleh organisasi mahasiswa yang bersifat “wajib” berdasarkan MUBES dianggap sebagai kesepakatan yang cacat hukum, karena bertentangan dengan regulasi nasional.

 

Dalam konteks nasional, kasus serupa pernah terjadi di Universitas Negeri Makassar (UNM), di mana pada tahun 2021, sejumlah mahasiswa KIP-K mengadukan pungutan Rp300.000 yang dilakukan oleh oknum pengelola organisasi kemahasiswaan. Kasus ini mendapat sorotan publik dan ditindaklanjuti oleh Ombudsman RI serta Kemendikbudristek. Selain itu, di Universitas Mataram, pungutan terhadap mahasiswa KIP-K juga pernah dipermasalahkan oleh media lokal, dan berujung pada klarifikasi serta pembatalan pungutan oleh kampus.

 

Sementara itu, pihak IAIN Takengon melalui Wakil Rektor I, Dr. Almusanna, M.Ag membantah adanya pungli. Ia menyatakan bahwa pungutan dilakukan atas dasar kesepakatan mahasiswa dalam forum MUBES dan dipergunakan untuk kepentingan sosial serta operasional organisasi Formakip.

 

“Kalau kami yang memungut itu tidak ada. Tapi kalau sesama mahasiswa sepakat untuk membantu sesama atau operasional organisasi, itu keputusan mereka. Dana itu dipakai untuk kegiatan sosial dan akademik,” jelas Almusanna.

 

Namun, pernyataan tersebut tidak menghapus potensi pelanggaran hukum. Berdasarkan Pasal 1337 KUHPerdata, kesepakatan yang bertentangan dengan hukum tidak sah. Selain itu, jika pungutan bersifat memaksa, tidak transparan, dan tidak memiliki dasar hukum, maka tetap dapat dikategorikan sebagai pungli berdasarkan UU Tipikor dan Perpres No. 87 Tahun 2016 tentang Saber Pungli.

 

Ruhdi mendesak:

1. IAIN Takengon memberikan klarifikasi resmi dan menindak tegas oknum yang terlibat dalam praktik pungutan tidak sah.

2. Formakip IAIN Takengon ataupun pihak Rektorat harus bertanggung jawab penuh dengan mengembalikan semua hak mahasiswa yang telah di ambil.

3. Kementerian Agama dan Puslapdik Kemendikbudristek melakukan audit dan investigasi terhadap penggunaan dana KIP-Kuliah di kampus tersebut.

4. Aparat penegak hukum untuk menyelidiki potensi pelanggaran pidana atau administrasi atas dugaan pungli ini.

 

“Kami tidak akan tinggal diam. Dunia pendidikan harus bersih dari segala bentuk penyalahgunaan kewenangan dan tekanan terhadap mahasiswa, terutama mereka yang berasal dari keluarga kurang mampu,” tutup Ruhdi.

 

 

Tim Redaksi

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *