Redelong, SCNews.co.id – 26 Agustus 2025,Praktik tata kelola pemerintahan desa kembali menjadi sorotan publik, kali ini datang dari Desa Ujung Gele, Kecamatan Bukit, Kabupaten Bener Meriah. Informasi yang terungkap mengindikasikan adanya dugaan penyimpangan dalam penunjukan bendahara desa, di mana jabatan strategis itu diberikan tanpa Surat Keputusan (SK) resmi, melainkan hanya melalui penunjukan lisan oleh kepala desa (reje).
Seorang warga yang mengetahui langsung persoalan ini menyebutkan nama Agusta Gayo sebagai pihak yang ditunjuk secara informal oleh reje. “Itu hanya penunjukan lisan, tidak ada SK atau dokumen resmi. Bahkan dalam dokumen penarikan dana desa, namanya tidak tercantum,” ujar sumber tersebut.
Bagi Agusta Gayo, situasi ini menjadi pukulan tersendiri. Ia mengaku kecewa karena merasa dimanfaatkan tanpa dasar hukum yang jelas. “Saya hanya disebut bendahara, tetapi ternyata tidak ada SK resmi, Setelah setahun saya baru mengetahui bahwa saya belum memiliki sk, saya merasa ditipu. Jabatan yang selama ini saya emban serasa sesuatu yang memalukan karena tampa sk seharusnya saya memiliki SK, bukan sekadar secara lisan,” ungkapnya dengan nada kecewa.
Kasus ini menempatkan Agusta Gayo dalam posisi sulit, di satu sisi ia telah menjalankan peran sebagai bendahara selama satu tahun, namun di sisi lain tidak memiliki legitimasi administratif yang sah. Publik menilai, kondisi ini justru menunjukkan lemahnya tata kelola yang dilakukan oleh kepala desa Ujung Gele, yang seharusnya memahami mekanisme hukum dan administrasi pemerintahan desa.
Sikap Kepala desa ujung gele sudah sangat jelas dan terindikasi penyalahgunaan wewenang. Atas hal tersebut Sedikitnya terdapat tiga aturan yang di duga sudah dilanggar:
1. UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang mengatur perangkat desa wajib ditetapkan melalui SK resmi.
2. Pasal 422 KUHP tentang Penyalahgunaan Wewenang, jika terbukti kepala desa menggunakan kekuasaan secara tidak sah.
3. UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, apabila penunjukan tanpa legalitas berdampak pada kerugian keuangan negara.
Dengan absennya SK resmi, legitimasi bendahara desa otomatis diragukan. Hal ini menimbulkan risiko besar terhadap transparansi pengelolaan dana desa, sekaligus membuka celah hukum yang dapat menyeret kepala desa ke ranah pidana apabila terjadi penyimpangan.
Publik menilai bahwa Agusta Gayo hanyalah korban dari kebijakan sepihak reje Ujung Gele. Beban moral dan potensi konsekuensi hukum semestinya tidak ditimpakan kepadanya, melainkan kepada kepala desa yang secara sadar mengabaikan prosedur hukum dan administrasi.
Hingga kini, pihak kecamatan maupun dinas terkait masih belum memberikan klarifikasi resmi. Sementara itu, kasus ini kian mendapat sorotan luas dan menjadi ujian serius terhadap komitmen pemerintah daerah dalam menegakkan tata kelola desa yang bersih dan akuntabel.
Tim Redaksi
Tidak ada komentar