Oleh: Yusra Efendi
Takengon, SCNews.co.id – Rimbunnya pohon pinus yang menjulang dari Linge hingga Bintang menjadi simbol kekayaan alam dataran tinggi Gayo. Di balik hamparan hijau itu, tersimpan potensi besar yang jika dikelola dengan baik, dapat menjadi penopang utama perekonomian masyarakat dan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Aceh Tengah. Namun, hingga hari ini, potensi tersebut masih jauh dari harapan.
Tahun 2022, kontribusi sektor getah pinus terhadap PAD hanya tercatat sebesar Rp 85 juta, Angka ini jelas kontras dengan estimasi potensi riil yang diyakini bisa mencapai miliaran rupiah per tahun. Realita ini menimbulkan pertanyaan mendasar mengapa hasil sebesar itu tidak tercermin dalam kas daerah, dan siapa yang sesungguhnya menikmati nilai ekonomi dari sumber daya hutan kita?
Pertanyaan ini semakin relevan ketika masyarakat menyaksikan dinamika terkini, termasuk polemik konsesi hutan pinus, peran BUMD yang belum optimal, dan dominasi perusahaan besar seperti PT THL.
Belakangan, kasus-kasus penyadapan ilegal, dugaan peredaran hasil hutan tanpa dokumen sah, hingga praktik distribusi gelap yang merugikan daerah kian mencuat ke permukaan.
Momentum penting dalam penegakan hukum terjadi pada Senin malam, 29 Juli 2025. Tiga pelaku berinisial D, M, dan S ditangkap oleh aparat gabungan dari Koramil dan Polsek Linge atas dugaan keterlibatan dalam jual beli getah pinus ilegal tanpa dokumen Merupakan cerminan dan gambaran tentang dugaan ketidak matangan sistem yang di bangun selama ini.
Kasus ini membuktikan bahwa persoalan tata kelola hutan pinus tidak hanya soal potensi yang belum dimaksimalkan, tetapi juga tentang tata kelola distribusi dan penegakan regulasi yang masih lemah.
Keberadaan BUMD yang diharapkan menjadi penggerak ekonomi berbasis sumber daya lokal, sejauh ini belum memberikan kontribusi optimal. Peranannya masih terbatas, belum mampu menjadi pengolah hasil hutan atau mitra koperasi rakyat. Kondisi ini membuka ruang dominasi oleh pihak luar, termasuk perusahaan-perusahaan yang mengelola konsesi besar namun kontribusinya terhadap PAD belum transparan.
Di sisi lain, para petani penyadap getah pinus masih dihadapkan pada tantangan harga yang rendah dan minimnya dukungan kelembagaan. Dalam posisi yang lemah, mereka rentan terjerat dalam jaringan informal yang tidak hanya merugikan mereka, tapi juga negara.
Aceh Tengah perlu membangun kerangka tata kelola hutan pinus yang berpihak pada rakyat. Model koperasi penyadap, penguatan BUMDes, pembangunan pabrik lokal, serta sistem retribusi berbasis digital adalah opsi yang realistis dan dapat segera diwujudkan jika ada kemauan politik dan komitmen birokrasi.
Langkah-langkah tersebut tentu memerlukan kolaborasi lintas sektor—dari pemerintah daerah, DPRK, lembaga adat, hingga masyarakat sipil seperti AMG. Edukasi hukum dan pengawasan partisipatif juga menjadi kunci agar kasus-kasus perdagangan ilegal tidak terus berulang.
Potensi hutan pinus Aceh Tengah bukan sekadar sumber getah, melainkan harapan akan kemandirian ekonomi yang adil dan berkelanjutan. Jika pengelolaan terus dibiarkan lepas kendali, maka kita bukan hanya kehilangan PAD, tapi juga kepercayaan publik dan keberlanjutan lingkungan.
Kini saatnya bergerak. Pemerintah harus melakukan evaluasi menyeluruh terhadap konsesi dan mitra BUMD. Setiap aktivitas ekonomi berbasis hutan harus memastikan adanya manfaat langsung bagi daerah dan masyarakat. Masyarakat pun perlu dilibatkan secara aktif, bukan hanya sebagai penyedia tenaga, tetapi sebagai pemilik sah dari kekayaan alam ini.
Karena pada akhirnya, jika kita terus membiarkan “jalur gelap” menguasai rimba kita, maka kita juga sedang menanam kegagalan untuk generasi yang akan datang.
Redaksi
Tidak ada komentar