Penyerobotan Lahan di Takengon Timur: Bahra Syaukani Gayo Tuntut Hak kepada Suparmin dan Ancam Jalur Hukum

Yusra Efendi
3 Jun 2025 08:44
3 menit membaca

Takengon, 3 Juni 2025  — Konflik pertanahan kembali mencuat di Dusun Blang Mersah, Desa Takengon Timur, Kecamatan Lut Tawar, Kabupaten Aceh Tengah. Kali ini, sengketa melibatkan Bahra Syaukani Gayo, seorang tokoh masyarakat yang juga menjabat sebagai Imem Dusun Blang Mersah, dengan warga setempat bernama Suparmin. Perselisihan bermula ketika Bahra Syaukani Gayo merasa bahwa sebagian tanah miliknya telah masuk ke dalam pekarangan milik Suparmin, dengan estimasi luas sekitar ±77 meter persegi.

 

Kedua pihak sempat menyepakati langkah damai dengan melakukan pengukuran ulang atas bidang tanah yang diklaim Suparmin. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa total luas tanah Suparmin saat ini mencapai 606 meter persegi, sementara dalam sertifikat hak milik yang dimilikinya hanya tercatat seluas 586 meter persegi. Artinya terdapat selisih kelebihan tanah seluas 22 meter persegi. Ketidaksesuaian semakin diperkuat dengan adanya dokumen Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) atas nama Suparmin yang mencantumkan luas tanah hanya 507 meter persegi. Jika dibandingkan dengan hasil pengukuran aktual, maka terdapat kelebihan total sebesar ±101 meter persegi yang menimbulkan dugaan kuat adanya penyerobotan lahan.

 

Persoalan ini sempat dibawa ke rapat resmi di kantor Desa Takengon Timur, yang menghasilkan sebuah berita acara dan ditandatangani oleh Kepala Desa serta sejumlah saksi. Namun, dalam rapat tersebut pihak Suparmin hanya mengakui kelebihan tanah sebesar 22 meter persegi dan menolak mengakui sisanya. Karena tidak ditemukan titik temu, Bahra Syaukani Gayo kemudian mengirimkan surat pemberitahuan untuk membongkar bangunan yang berdiri di atas tanah seluas 22 meter persegi tersebut.

 

Menanggapi hal ini, pihak Suparmin memohon agar penyelesaian dilakukan secara kekeluargaan. Dalam sebuah pertemuan lanjutan yang dihadiri oleh Babinsa dan Kepala Dusun Blang Mersah, pihak Suparmin melalui anaknya, Mulyazir, menyampaikan keinginan untuk menyelesaikan secara damai dengan tawaran ganti rugi sebesar Rp 8.000.000, dengan alasan sedang menghadapi banyak kebutuhan keluarga.

 

Bahra Syaukani Gayo melalui anaknya, Gilang Ken Tawar, menyatakan akan bermusyawarah terlebih dahulu dengan keluarga sebelum memberikan keputusan. Setelah berkonsultasi, pihak Bahra melalui Babinsa memberikan jawaban bahwa ganti rugi yang dianggap layak adalah sebesar Rp 40.000.000. Namun, pihak Suparmin kembali menawar dan hanya bersedia membayar sebesar Rp 15.000.000.

 

Karena tidak tercapai kesepakatan harga, Bahra Syaukani kembali mengirimkan surat pemberitahuan pembongkaran bangunan kepada Suparmin dengan tembusan kepada Kepala Desa, Kepala Dusun, Babinsa, dan Bhabinkamtibmas. Namun, langkah ini justru ditanggapi dengan surat peringatan dari kuasa hukum Suparmin, Indra Kurniawan, S.H, yang mengancam akan menempuh jalur hukum jika pembongkaran tetap dilakukan.

 

Bahra Syaukani Gayo menanggapi ancaman tersebut dengan tegas, menyatakan bahwa perkara ini bukan semata-mata persoalan sengketa tapal batas, melainkan sudah termasuk dalam kategori penyerobotan lahan yang memiliki konsekuensi hukum serius. “Bayar pengacara bisa, bayar hak orang tidak bisa. Kami akan tepung jalur hukum,” ujarnya.

 

Dari sisi hukum, tindakan menduduki lahan secara tidak sah sebagaimana yang diduga dilakukan oleh pihak Suparmin dapat dikategorikan sebagai tindak pidana penyerobotan tanah sebagaimana diatur dalam Pasal 385 KUHP. Pasal tersebut menyebutkan bahwa barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, secara melawan hukum menjual, menukarkan, menyewakan, atau menjadikan jaminan utang sesuatu hak atas tanah orang lain, atau menduduki tanah tersebut tanpa izin yang berhak, dapat dipidana penjara paling lama empat tahun.

 

Selain itu, dalam konteks kelebihan luasan tanah dari dokumen resmi yang berbeda jauh dari hasil pengukuran aktual, hal ini juga dapat menimbulkan konsekuensi hukum administratif pertanahan, yang berpotensi dibawa ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) atau Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) jika terdapat penyimpangan dalam penerbitan sertifikat.

 

Sampai saat ini, tidak ada kesepakatan final antara kedua belah pihak. Konflik tersebut menyisakan ketegangan di tengah masyarakat dan menjadi perhatian warga Dusun Blang Mersah. Sejumlah tokoh masyarakat menyerukan agar penyelesaian tetap ditempuh melalui jalur damai dan hukum yang adil, guna mencegah eskalasi konflik yang lebih besar.

 

 

Tim Red

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *