Takengon, SCNews.co.id -13 Juni 2025, Sumpah jabatan yang diucapkan 30 anggota Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Aceh Tengah tampaknya mulai kehilangan makna. Bagi Jamalingga, Ketua Himpunan Mahasiswa Gayo dan Alas (HIMAGA), diamnya para wakil rakyat ketika nama lembaga mereka disebut dalam pusaran tambang ilegal adalah isyarat paling terang dari pengabaian sumpah tersebut.
“Kami bertanya-tanya, siapa sebenarnya yang masih bisa kami percayai di gedung dewan itu?” kata Jamalingga kepada SCNews, Rabu, 11 Juni 2025.
Pemicunya adalah rekaman suara pengusaha tambang ilegal berinisial HI yang menyebut adanya “rekomendasi” dari Ketua DPRK dan Penjabat Bupati Aceh Tengah untuk melanjutkan aktivitas tambang yang disinyalir tak berizin. Rekaman itu, yang menyebar di media sosial dan grup-grup percakapan WhatsApp, membuat publik gaduh. Namun hingga kini, tak satu pun dari 30 anggota DPRK buka suara.
Menurut HIMAGA, rekaman itu bukan sekadar desas-desus. “Ini sudah menyentuh institusi DPRK. Tapi anehnya, justru tak ada satu pun yang bereaksi,” kata Jamalingga.
Ia menuding DPRK melakukan kelalaian kolektif. Ketika tuduhan serius dilemparkan ke ruang publik, tidak ada klarifikasi, tidak ada kecaman, bahkan tidak ada pembelaan terhadap institusi sendiri. “Kalau memang tidak terlibat, mengapa tidak bersih-bersih?” ujarnya.
HIMAGA menilai sikap pasif itu mencerminkan sebuah krisis etik. Sebab, menurut mereka, diamnya para anggota dewan justru memperkuat persepsi publik bahwa ada sesuatu yang sedang ditutupi. “Ini bukan hanya soal nama baik. Ini soal tanggung jawab kepada rakyat, juga soal moral,” ujar Jamalingga.
Tak hanya berhenti pada kritik, HIMAGA kini mendorong agar dilakukan audit etik terhadap DPRK Aceh Tengah. Mereka meminta agar ada penelusuran terhadap komunikasi informal maupun indikasi pertemuan-pertemuan yang mungkin terjadi antara Mantan PJ Bupati Aceh Tengah Subandi, anggota dewan dan para pelaku tambang ilegal.
“Dewan bukan menara gading. Mereka digaji dari uang rakyat,Begitu Juga Mantan PJ Bupati ” kata Jamalingga. “Kalau ada tuduhan seperti ini, seharusnya mereka yang paling pertama marah dan membuktikan tidak terlibat.”
HIMAGA juga mengkritik minimnya inisiatif DPRK dalam menanggapi isu lingkungan yang semakin mengkhawatirkan. Di tengah rusaknya ekosistem hutan dan aliran sungai di kawasan Linge dan sekitarnya, parlemen daerah justru dinilai abai dan tak pernah menunjukkan posisi tegas terhadap aktivitas tambang ilegal.
“Mereka punya fungsi pengawasan. Tapi selama ini, suara mereka soal tambang nyaris tak terdengar,” kata Jamalingga. “Sekarang, setelah nama mereka disebut, mereka tetap diam. Sumpah jabatan mereka tak lebih dari formalitas.”
(Tim Redaksi )
Tidak ada komentar